Minggu, 15 September 2013

Faktor-Faktor Kepuasan Kerja Karyawan

    Beberapa ahli mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Menurut Hariandja (2002;291) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah :
1.   Gaji, yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil.
2.   Pekerjaan itu sendiri, yaitu isi pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang memuaskan.
3.   Rekan sekerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan sekerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan.
4.  Atasan, yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan bagi seseorang atau menyenangkan dan hal ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
5.    Promosi, yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak, proses kenaikan jabatan kurang terbuka atau terbuka. Ini dapat mempengaruhi  kepuasan kerja
6.      Lingkungan kerja, yaitu lingkungan fisik dan psikologis.

   Menurut As’ad dalam Dariyo (2004;83) menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja bagi seorang individu / karyawan yaitu :
1.     Faktor Fisiologis
   Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja ataupun lingkungan fisik karyawan. Hal ini meliputi jenis pekerjaan, pengaturan jam kerja, waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, penerangan, dan sirkulasi udara. Sementara itu, kondisi fisik karyawan meliputi kesehatan karyawan, umur, dan jenis kelamin.
2.     Faktor Psikologis
         Faktor psikologis adalah faktor yang berhubungan dengan   aspek - aspek psikologis individu, misalnya minat, ketenteraman kerja, sikap terhadap kerja, bakat, inteliegensi, dan keterampilan/ pengalaman.
3.     Faktor Sosial
            Faktor sosial adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antara sesama karyawan (dalam satu bagian ataupun dengan bagian lain), dengan atasan dan bawahan.
4.     Faktor Finansial
         Faktor finansial adalah faktor yang berhubungan dengan jaminan dan kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, dan kesempatan promosi.

     Menurut Blum dalam Umar (2004;217) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah :
1.     Faktor individual meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan
2.   Faktor sosial meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
3.  Faktor utama dalam pekerjaan meliputi upah, pengawasan, ketenteraman bekerja, kesempatan untuk maju, penghargaan, hubungan sosial dalam menyelesaikan konflik antar manusia, dan perlakuan yang adil, baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.

        Menurut Robbins (2008;119) ada empat faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kepuasan kerja karyawan yaitu :
1.   Kerja yang menantang secara mental (mentally challenging work). Pada umumnya, individu lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka peluang untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan serta memberi beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang seberapa baik kerja mereka. Karakteristik-karakteristik ini membuat kerja lebih menantang secara mental.
2.    Penghargaan yang sesuai (equitable rewards). Karyawan menginginkan sistem bayaran yang mereka rasa adil, dan selaras dengan harapan-harapan mereka. Ketika bayaran dianggap adil, sesuai dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individual, dan standar bayaran masyarakat, kemungkinan akan tercipta kepuasan.
3.     Kondisi kerja yang mendukung (supportive working condition). Karyawan berhubungan dengan lingkungan kerja mereka untuk kenyamanan pribadi dan kemudahan melakukan pekerjaan yang baik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan fisik yang nyaman atau tidak berbahaya. Selain itu, sebagian besar karyawan lebih menyukai bekerja relatif dekat dengan rumah, dengan fasilitas yang relatif modern dan bersih, serta dengan peralatan yang memadai.
4.    Kolega yang suportif (supportive colleagues). Individu mendapat sesuatu yang lebih dari pada sekedar uang atau prestasi yang nyata dari pekerjaan. Untuk sebagian karyawan, kerja memenuhi kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa memiliki rekan-rekan kerja yang ramah dan suportif mampu meningkatkan kepuasan kerja. Perilaku atasan seseorang juga merupakan faktor penentu kepuasan yang utama. Penelitian mengungkapkan bahwa kepuasan kerja karyawan meningkat ketika pengawas langsung adalah orang yang pengertian  dan ramah, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan opini-opini karyawan, dan menunjukkan minat pribadi dalam diri mereka.

     Menurut Rivai (2008;479) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja adalah gaya kepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja. Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja adalah bekerja pada tempat yang tepat, pembayaran yang sesuai, organisasi dan manajemen, supervisi pada pekerjaan yang tepat, dan orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat.

   Menurut Luthans dalam Sopiah (2008;171) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu :
1. Pekerjaan itu sendiri, sejauhmana karyawan memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang untuk menerima tanggung jawab.
2.  Gaji, merupakan jumlah balas jasa finansial yang diterima karyawan dan tingkat dimana hal ini dipandang sebagai suatu hal yang adil dalam organisasi.
3.  Promosi, kesempatan untuk kenaikan jabatan dalam jenjang karir.
4. Supervisi, merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan dukungan.
5. Kelompok kerja / rekan kerja, merupakan suatu tingkatan dimana rekan kerja memberikan dukungan.
6.  Kondisi kerja, apabila kondisi kerja karyawan baik ( bersih, menarik, dan lingkungan kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah menyelesaikan pekerjannya.

          Menurut Strauss dan Sayles dalam Umar (2004;217) kepuasan kerja  penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan mengakibatkan frustasi, semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, serta emosinya tidak stabil.

      Karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan berprestasi kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu, kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif.

DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Mohammad, 2004. Psikologi Industri. Edisi Keempat. Liberty, Yogyakarta.

Dariyo, Agoes, 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Grasindo, Jakarta.

Hariandja, MT, Efendi, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Grasindo, Jakarta.

Rivai, Veithzal, dan Sagala, Ella, Jauvani. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: dari teori ke praktik, Edisi kedua. Murai Kencana, Jakarta.

Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A.,  2008. Perilaku Organisasi. Salemba Empat, Jakarta.

Sopiah, 2008. Perilaku Organisasi. Andi, Yogyakarta.
  
Tangkilisan, Hessel, Nogi S., 2007. Manajemen Publik. PT. Grasindo, Jakarta.


Umar, Husein, 2004. Metode Riset Ilmu Administrasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta


Teori Kepuasan Kerja

Teori- teori mengenai kepuasan kerja ada tiga macam yaitu :
1.     Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy theory)
       Menurut Gibson dalam Sopiah (2008;172) teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1961 yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan selisih atau perbandingan antara harapan dengan kenyataan. Kemudian Locke pada tahun 1961, menambahkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila kondisi yang aktual (sesungguhnya) sesuai dengan harapan atau yang diinginkan. Semakin sesuai antara harapan seseorang dengan kenyataan yang dihadapi maka orang tersebut akan semakin puas.
       Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy yang positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan.
2.     Teori Keadilan (Equity Theory)
       Menurut Locke dalam As’ad (2004;105) prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah dia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.
       Menurut Wexley dan Yukl dalam As’ad (2004;106) Prinsip dari teori equity adalah bahwa orang akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak ada keadilan (inequity) atas suatu situasi. Ada tiga elemen dari teori equity yaitu :
a.  Input (anything of value that an employee perceives that he contributes to his job). adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Dalam hal ini misalnya pendidikan, pengalaman, keterampilan, jumlah usaha yang diharapkan, jumlah jam kerja.
b.  Out comes adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya.
c.   Comparison person adalah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-out comes yang dimilikinya. Comparison persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
       Menurut Wexley dan Yukl dalam As’ad (2004;106) dalam teori keadilan, setiap karyawan akan membandingkan ratio input-outcomes orang lain (comparison persons). Bila perbandingan itu dianggapnya cukup adil (equity), maka ia merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation inequity), bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation inequity) akan timbul ketidakpuasan.
       Menurut Locke dalam As’ad (2004;107) Adapun kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences (misalnya saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila ditanya besarnya upah/gaji yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi (misalnya upah) dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan.
3.     Teori dua faktor (Two factor theory)
               Menurut Gibson dalam Sopiah (2008;173) teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori ini memandang kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakadaan faktor-faktor ekstrinsik. Herzberg menyimpulkan bahwa orang yang puas dalam pekerjaan berhubungan dengan kepuasan kerja dan orang yang tidak puas dengan pekerjaan berhubungan dengan suasana kerja.Oleh Herzberg orang yang puas diberi nama motivator, dan orang yang tidak puas diberi nama higiene.   Kesimpulan hasil penelitian Herzberg dalam Sopiah (2008;173) mengenai teori dua faktor adalah sebagai berikut :
a.    Ada sekelompok kondisi ekstrinsik (konteks pekerjaan) / faktor higiene  meliputi gaji atau upah, keamanan kerja, kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi, supervisi, dan hubungan interpersonal. Apabila faktor ini tidak ada maka karyawan akan merasa tidak puas.
b.  Ada sekelompok kondisi instrinsik / faktor motivator  yang meliputi prestasi kerja, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan pertumbuhan.
          Menurut teori ini, perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan. Dalam perkembangan selanjutnya satisfiers dan dissatisfiers ini dipasangkan (dibuat berpasangan) dengan teori motivasi dari Maslow. Pada satisfiers berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi (higher order needs) yaitu kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri, sedangkan pada dissatisfiers berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan tingkat bawah (lower order needs) yaitu kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
          Salah satu faktor pendorong yang menyebabkan manusia bekerja adalah karena memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, yang permunculannya sangat tergantung dari kepentingan individu. Teori Maslow  adalah salah satu teori yang dapat dipergunakan untuk memotivasi karyawan dalam bekerja. Abraham Maslow menguraikan elemen teori motivasi, disimpulkan dari psikologi humanistik dan pengalaman klinisnya, dia berpendapat bahwa kebutuhan motivasi seseorang dapat disusun dengan cara hirarki. Intinya, dia yakin bahwa jika satu tingkat kebutuhan dipenuhi, tingkat tersebut tidak memotivasi lagi. Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya diaktifkan untuk memotivasi individu.
          Menurut Maslow dalam Rivai (2008;223) kebutuhan itu dapat dibagi menjadi lima tingkat, yaitu:
1.     Fisiologis; meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya.
2.     Rasa aman; meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional.
3.     Sosial; meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan dan persahabatan
4.     Penghargaan; meliputi faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian; dan faktor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5.     Aktualisasi diri; dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya, meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri.

          Dari pendapat Maslow tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dapat disusun menurut tingkat kepentingan, yaitu sejak kebutuhan dasar yang paling sederhana sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Apabila suatu kebutuhan atau kepentingan sudah terpenuhi atau terpuaskan, maka akan muncul kebutuhan yang lain atau kebutuhan yang sama dan tetap dengan tingkat yang lebih tinggi.



Pengertian Kepuasan Kerja Karyawan


    Menurut Louis A. Allen dalam As’ad (2004;103) Mengemukakan tentang pentingnya unsur manusia dalam menjalankan roda industri bahwa betapapun sempurnanya rencana-rencana, organisasi dan pengawasan serta penelitiannya, tidak akan berarti apabila mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan minat dan gembira, dan perusahaan tidak akan mencapai hasil sebanyak yang sebenarnya dapat dicapai. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa faktor manusia ternyata cukup berperan dalam mencapai hasil yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu setiap pimpinan perusahaan berkewajiban memberikan motivasi agar kepuasan kerja karyawan dapat terpenuhi dengan optimal.
    Kepuasan kerja pada tingkat tertentu dapat mencegah karyawan untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain. Apabila karyawan di perusahaan tersebut mendapatkan kepuasan, karyawan cenderung akan bertahan pada perusahaan walaupun tidak semua aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja terpenuhi. Karyawan yang memperoleh kepuasan dari perusahaannya akan memiliki rasa keterikatan atau komitmen lebih besar terhadap perusahaan dibandingkan karyawan yang tidak puas. Menurut Tiffin dalam As’ad (2004;104) menjelaskan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai suatu hal yang berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dan sesama karyawan.
       Berkenaan dengan kepuasan kerja karyawan, maka beberapa ahli memberikan suatu batasan atau defenisi tentang kepuasan kerja karyawan yaitu, antara lain ; menurut Wexley dan Yukl dalam As’ad (2004;104) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah the way employee feels about his/her job. Ini berarti kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.
      Kemudian menurut Blum dalam As’ad (2004;104)  dikemukakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri, dan hubungan sosial di luar kerja.
     Menurut Handoko dalam Tangkilisan (2007;164) mengemukakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari para karyawan dalam memandang pekerjaan mereka. Waktu atau lama penyelesaian merupakan pencerminan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dapat dilihat dari sikap  positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu di lingkungannya.
    Menurut Rivai (2008;475) kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.
     Dengan dasar pengertian itu pula dapat dipahami bahwa pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Artinya setiap individu akan memiliki perbedaan, sehingga tingkat kepuasan juga berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku pada dirinya atau dengan kata lain dengan adanya perbedaan antara masing-masing individu, menyebabkan tingkat kepuasan yang dirasakan juga pasti berbeda-beda.
          Dengan memahami beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah suatu keadaan emosional yang dirasakan oleh karyawan dalam memandang pekerjaannya mencakup bagaimana tingkah laku karyawan setiap harinya dalam bekerja termasuk hubungan karyawan dengan rekan sekerjanya dan hubungan antara karyawan dengan atasan begitu pula sebaliknya serta hubungan dengan lingkungan tempat bekerja.

       Umumnya karyawan yang puas dengan sesuatu yang diperoleh dari perusahaan akan memberikan lebih dari yang diharapkan perusahaan dan akan terus berusaha memperbaiki kinerja. Untuk itu menjadi kewajiban bagi perusahaan untuk mengenali berbagai hal yang membuat karyawan puas bekerja di perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun  diharapkan akan meningkat.