Teori- teori mengenai kepuasan kerja ada tiga macam yaitu
:
1. Teori
Ketidaksesuaian (Discrepancy theory)
Menurut
Gibson dalam Sopiah (2008;172) teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter
pada tahun 1961 yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan selisih atau
perbandingan antara harapan dengan kenyataan. Kemudian
Locke pada tahun 1961, menambahkan bahwa seorang karyawan akan
merasa puas bila kondisi yang aktual (sesungguhnya) sesuai dengan harapan atau
yang diinginkan. Semakin sesuai antara harapan seseorang dengan kenyataan yang
dihadapi maka orang tersebut akan semakin puas.
Dengan
demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan
dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah
terpenuhi. Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan,
maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy yang positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang
dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang
terhadap pekerjaan.
2.
Teori Keadilan (Equity Theory)
Menurut Locke
dalam As’ad (2004;105) prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa
puas atau tidak puas, tergantung apakah dia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan
equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat
lain.
Menurut
Wexley dan Yukl dalam As’ad (2004;106) Prinsip
dari teori equity adalah bahwa orang akan merasakan
adanya keadilan (equity) atau tidak ada keadilan (inequity)
atas suatu situasi. Ada tiga elemen
dari teori equity yaitu :
a. Input (anything of value that an
employee perceives that he contributes to his job).
adalah segala sesuatu yang berharga, yang
dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Dalam hal ini misalnya pendidikan, pengalaman,
keterampilan, jumlah usaha yang diharapkan, jumlah jam kerja.
b. Out comes
adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari
pekerjaannya.
c. Comparison person
adalah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-out comes yang dimilikinya. Comparison
persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang
sama atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu
lampau.
Menurut
Wexley dan Yukl dalam As’ad (2004;106) dalam teori
keadilan, setiap karyawan akan
membandingkan ratio input-outcomes orang
lain (comparison persons). Bila
perbandingan itu dianggapnya cukup adil (equity),
maka ia merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan
(over compensation inequity), bisa
menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis).
Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation inequity) akan timbul ketidakpuasan.
Menurut Locke
dalam As’ad (2004;107) Adapun kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa
kepuasan orang juga ditentukan oleh individual
differences (misalnya saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila
ditanya besarnya upah/gaji yang diinginkan). Selain
itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi (misalnya upah) dengan
tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan.
3. Teori dua faktor (Two factor theory)
Menurut Gibson dalam Sopiah (2008;173)
teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori ini memandang
kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa
ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakadaan faktor-faktor ekstrinsik.
Herzberg menyimpulkan bahwa orang yang puas dalam pekerjaan berhubungan dengan
kepuasan kerja dan orang yang tidak puas dengan pekerjaan berhubungan dengan
suasana kerja.Oleh Herzberg orang yang puas diberi nama motivator, dan orang
yang tidak puas diberi nama higiene. Kesimpulan
hasil penelitian Herzberg dalam Sopiah (2008;173) mengenai teori dua faktor adalah
sebagai berikut :
a. Ada sekelompok kondisi ekstrinsik (konteks pekerjaan) /
faktor higiene meliputi gaji atau upah, keamanan
kerja, kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi, supervisi, dan hubungan
interpersonal. Apabila faktor ini tidak ada maka karyawan akan merasa tidak
puas.
b. Ada sekelompok kondisi instrinsik / faktor motivator yang meliputi prestasi kerja, pengakuan,
tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan pertumbuhan.
Menurut
teori ini, perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak
akan menimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan. Dalam perkembangan
selanjutnya satisfiers dan dissatisfiers ini dipasangkan (dibuat
berpasangan) dengan teori motivasi dari Maslow. Pada satisfiers berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan tingkat tinggi (higher
order needs) yaitu kebutuhan
sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri,
sedangkan pada dissatisfiers berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan tingkat bawah (lower order needs) yaitu kebutuhan
fisiologis dan rasa aman.
Salah satu
faktor pendorong yang menyebabkan manusia bekerja adalah karena memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi, yang permunculannya sangat tergantung dari
kepentingan individu. Teori Maslow
adalah salah satu teori yang dapat dipergunakan untuk memotivasi
karyawan dalam bekerja. Abraham Maslow menguraikan elemen teori motivasi,
disimpulkan dari psikologi humanistik dan pengalaman klinisnya, dia berpendapat
bahwa kebutuhan motivasi seseorang dapat disusun dengan cara hirarki. Intinya,
dia yakin bahwa jika satu tingkat kebutuhan dipenuhi, tingkat tersebut tidak
memotivasi lagi. Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya diaktifkan
untuk memotivasi individu.
Menurut
Maslow dalam Rivai (2008;223) kebutuhan itu dapat dibagi menjadi lima tingkat,
yaitu:
1. Fisiologis; meliputi rasa lapar, haus, berlindung,
seksual, dan kebutuhan fisik lainnya.
2. Rasa aman; meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya
fisik dan emosional.
3. Sosial; meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan,
penerimaan dan persahabatan
4. Penghargaan; meliputi faktor-faktor penghargaan internal
seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian; dan faktor-faktor penghargaan
eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5. Aktualisasi diri; dorongan untuk menjadi seseorang sesuai
kecakapannya, meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan
diri sendiri.
Dari
pendapat Maslow tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia
dapat disusun menurut tingkat kepentingan, yaitu sejak kebutuhan dasar yang
paling sederhana sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Apabila
suatu kebutuhan atau kepentingan sudah terpenuhi atau terpuaskan, maka akan
muncul kebutuhan yang lain atau kebutuhan yang sama dan tetap dengan tingkat
yang lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar